Minggu, 20 Januari 2013

cerpen: Manusia dan Harapan

"Hari demi hari menanti di ujung harapan"

Demi Hari yang Menanti di Ujung Harapan
Pagi itu, ketika udara terasa basah oleh embun pagi, aku memulai rutinitas mingguanku menjelajahi kota. Dengan berbekal sepatu sport, aku pun melesat menyusuri jalan setapak sekitar rumahku. Belum 100 meter aku berlari, lagi-lagi hal yang sama seperti minggu lalu kembali terulang. Aku melihat seorang gadis muda sedang menyusuri gang sempit yang ada di pertigaan jalan besar. Hal itu menjadi hal yang aneh mengingat gang sempit yang ia masuki adalah gang buntu yang tidak ada apa-apa di dalamnya. Sangat aneh pikirku, tetapi aku berusaha tidak peduli dan melanjutkan langkah kakiku.
Sudah 3 minggu sejak hari itu, dan sudah 3 kali pula aku mendapatinya masuk ke dalam gang buntu yang sama. Rasa penasaran sudah tak mampu lagi ku tahan. Dengan sedikit keberanian, aku mengikutinya. Ketika memasuki mulut gang, aku sempat terganggu dengan jalannya yang basah dan bau sampah.
“Hei, tunggu….”. kataku.
Gadis itu mengacuhkanku dan terus menyusuri gang. Setelah aku mengikutinya sampai ujung gang, aku kembali menegurnya. Tampak dia sedikit terkejut ketika melihat wajah asingku. Aku pun mencoba mencairkan suasana.
‘Hey, kamu lagi ngapain ?” ucapku basa-basi.
Dengan wajah tanpa ekspresi, dia pun mengabaikanku dan meletakkan bungkusan kecil yang dibawanya. Beberapa saat kemudian muncul beberapa ekor anak kucing mengerubungi bungkusan tersebut.
Gadis itu mengangkat seekor anak kucing dan mulai mengelusnya. Seketika itu, untuk sesaat aku merasakan kehangatan terpancar di wajahnya. Begitu lembut, tenang dan syarat akan kebaikan. Inilah kehangatan yang telah lama hilang dari hidupku sejak ibuku meninggal 5 tahun yang lalu.
“Kucing-kucing ini dibuang pemiliknya dan tidak punya tempat tinggal lagi”. Katanya membuyarkan lamunanku.
“Ah, jadi karena itu kamu kesini setiap minggu? Untuk memberi makan mereka?” tanyaku.
“Yah begitulah, hampir setiap hari aku ke sini. Hanya ini yang dapat kulakukan untuk mereka”.
“Ehmm, o ya, aku Ramdan”.
“Irsa”. Jawabnya pendek.
Inilah perkenalan kecil kami yang merupakan awal baru dalam kehidupanku.
Tanpa terasa hari telah sore ketika aku mengakhiri bincang-bincangku dengan Irsa. Entah kenapa aku begitu tertarik dengan gadis satu ini.
***###***
Setelah beberapa kali bertemu, aku semakin akrab dengan Irsa. Di suatu sore aku mengajaknya pulang dengan motor ninja ku. Di jalan yang lengang itu, kucoba membuatnya berkesan dengan kemampuan berkendaraku. Kupacu motorku dengan kecepatan maksimal. Tanpa kusadari, mobil sedan yang ada di depanku berhenti mendadak. Dengan kecepatan seperti ini, mustahil bagiku menghentikan laju motorku. Langsung aku berinisiatif mengambil sedikit badan jalan bagian kanan untuk menghindarinya. Tiba-tiba sebuah mobil dari arah berlawanan menabrak motorku dan mementalkan aku dan Irsa sejauh beberapa meter. Seketika aku tak sadarkan diri.
Aku terbangun di ruangan serba putih yang aku yakini sebagai rumah sakit. Tiga tulang rusuk dan kaki kananku patah, serta banyak memar-memar di sekujur tubuhku. Lalu bagaimana dengan Irsa ? aku begitu shock dan tak percaya dengan semua ini. Irsa tidak selamat.
Tidak hanya perasaan sedih, aku juga merasa kecewa, marah, gundah dan menyesal dengan semua yang terjadi. Ketika pemakaman Irsa berlangsung, aku sedikit terkejut melihat banyaknya orang yang datang. Terutama karena kebanyakan dari mereka adalah anak-anak yatim piatu disekitar rumah Irsa.
Memang, aku baru mengenal Irsa selama tiga minggu, dan hanya dalam selang waktu itu aku merasa telah sangat mengenalnya, aku tidak meragukan keramahan dan kabaikan hatinya. Namun ternyata dia lebih dari yang kubayangkan. Selama ini dia tidak hanya peduli terhadap lingkungannya, ia juga ternyata aktif mengurusi anak-anak itu. Mulai dari makan, hingga sekolah mereka. Aku kagum sekaligus malu padanya. Kagum karena kesediaannya untuk berbagi dengan orang lain dan malu karena selama ini aku hanya memikirkan diriku sendiri. Aku sadar bahwa selama ini aku hidup sebagai pecundang yang tidak berarti.
Aku termenung dan berpikir jika Irsa hidup demi anak-anak itu, lantas aku hidup demi apa? Demi siapa?. Sekarang aku tidak punya siapa-siapa di hidupku, kecuali Irsa, Irsa Damayanti Dewi. Jadi aku putuskan akan hidup demi Irsa dan harapan-harapannya akan dunia.
Aku tidak lagi gundah, karena aku punya alasan untuk hidup. Dengan langkah pincang aku meninggalkan pemakaman sambil berucap dalam hati “demi dunia .… demi Irsa Damayanti .… wanita yang ku cintai”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar